Jam
9 pagi. Mengajar penjas SMA kelas XI. Di daerah saya sudah panas. Kalimantan
Tengah lebih dekat dengan katulistiwa daripada Jawa. Sinar matahari menyapa
kulit dengan semangat. Makanan sehari-hari guru penjas. Kulit eksotis tidak
bisa dihindari. Materi bola besar mengenai sepak bola. Murid kelihatan kurang
bersemangat. Mengeluhkan jam pelajaran penjas mereka yang dapat agak siang.
Mempengaruhi antusias mengikuti pelajaran. Beberapa cara sudah dilakukan. Salah
satunya memberi variasi permainan saat pemanasan. Hanya efektif untuk siswa
putra. Tanpa dikomando siswa putra memang lebih aktif bergerak.
Siswa
putri cenderung pasif. Mereka bergerak karena instruksi guru. Selebihnya mana
ada yang mau bergerak sukarela. Sungguh guru dibuat pusing. Teori pembelajaran
yang dulu dipelajari tidak sukses diterapkan. Kalau mau bisa saja diterapkan.
Mengejar pembelajaran sesuai dengan RPP. Pasang tampang garang. Suruh siswa ini
itu tanpa pandang suasana hati mereka. Tapi itu tidak pernah diterapkan. Lebih
suka menganut pembelajaran menyenangkan.
Masalahnya
siswa putri sulit sekali diajak senang-senang. Siswa putra aktif mempraktekkan
gerakan sepak bola. Siswa putri malah cuma berdiri nonton. Ada yang menepi
berteduh di bawah pohon. Panas katanya. Mau bagaimana lagi. Matahari yang
semakin semangat menerangi kegiatan pelajaran. Satu siswi mulai berteduh yang
lain ikut-ikutan. Menyuruh mereka beraktivitas berarti menyiksa batin. Sungguh
ingin rasanya lari ke semak-semak. Lalu jatuh kesrimpet nemu lampu ajaib. Digosok keluar jin lampu. Lalu terkabul
permintaan. Cling, lapangan indoor
muncul. Gejala guru stress mulai nampak.
Rasanya
lupa-lupa ingat materi kuliah. Tentang perkembangan anak usia remaja. Pernah
membaca satu teori. Penampilan gerak remaja putri akan cenderung menurun.
Terjadi penurunan gerak dasar mendekati kematangan biologisnya. Hormon tubuh
juga ikut andil. Perkembangan tubuh siswa putri mempengaruhi kemampuan gerak.
Meningkatnya berat badan menurunkan kelincahan gerak. Kontrol kelentukan gerak
cenderung menurun. Secara tidak langsung memang berpengaruh pada antusias
mereka melakukan gerak.
Berpedoman
pada memori ingatan materi kuliah. Saya tidak mau memaksa siswa putri. Itu
sudah menjadi hal wajar. Mereka secara alamiah “menjaga diri”. Masa pubertas
bagi siswa putri sepertinya perlu lebih dipahami. Berbeda dengan siswa putra.
Pada masa SMA, siswa putra mengalami peningkatan kemampuan fisik dengan pesat.
Berbanding terbalik dengan putri yang cenderung menurun.
Tiga
puluh menit terakhir jam pelajaran. Biasanya saya membebaskan mereka
beraktivitas permainan. Masih sambil duduk di bawah rindang pohon. Angin
semilir berhembus. Enak juga ternyata berteduh. Saya tidak jadi menyalahkan
mengapa mereka lebih suka berdiam diri. Kesempatan untuk intervensi obrolan
mereka. Diarahkan untuk membahas mengenai sepak bola. Pengetahuan mengenai
sepak bola masih minim. Saatnya untuk mengupgrade
siswa putri.
Biarkan
yang putra, mereka jelas suka sepak bola. Menjelaskan yang mana passing, yang mana heading, sepak pojok, dribble,
throw in, tidaklah sulit. Yang sulit adalah menyuruh mereka supaya berhenti
main bola. Karena tahu-tahu jam pelajaran hampir habis. Lalu bagaimana dengan
pendinginan? Dalam RPP ideal memang ada alokasi waktu pendinginan. Saya lebih
sering melanggar itu. Tolong maafkan saya. Menerapkan pembelajaran ideal
seperti RPP yang bagus. Para siswa malah tertekan. Ndak bisa enjoy. Khusus
untuk siswa putri. Pembelajaran menyenangkan seperti RPP jauh dari harapan.
Dilema antara menerapkan pelajaran sesuai umumnya RPP. Atau melanggar rencana
yang dibuat sendiri. Sepertinya untuk tahun depan harus merubah RPP. Pengalaman
masalah tahun-tahun sebelumnya bisa dikatakan sama.
Tidak
sengaja menemukan permasalahan. Hipotesis tindakan juga muncul tiba-tiba.
Menulis itu luar biasa manfaatnya. Bisa dijadikan Penelitian Tindakan Kelas
juga nih. Tinggal menyusun saja urutannya. Semoga setelah ini PTK bisa
terealisasi. Muncul solusi jitu untuk mengatasi permasalahan pembelajaran
sepakbola. RPP seharusnya akronim dari “Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran”. Bukan “Rencana
Pemaksaan Pembelajaran”.
(artikel pernah dipublikasikan di mediaguru.id)
Hampir semua guru penjas menemukan situasi seperti itu.. ketika idealisme mulai memudar ingatlah satu semboyan bahwa Guru harus kreatif (mboh pie carane) yang penting masalah itu bisa diatasi.. mari berdiskusi bersama guru2 penjas yg memegang prinsip penjas it's fun..
ReplyDeleteKadang bikin pusing...
DeleteSebaiknya pola pendidikan jasmani yang rapi,teratur dan tertib dilapangan itu harus diterapkan sedini mungkin. Peru kerjasama dari jenjang tingkat dasar,menengah dan atas yang baik. Dalam kasus ini saya pribadi melihat komunikasi antara guru pendidik antar jenjang belum terjalin dgn baik. Contohnya disini dalam pekan olahraga pelajar smua jenjang diadu dalam satu event. Seharusnya event antar pelajar untuk tingkat dasar/menengah/atas dalam kelompok sendiri. Sehingga smua guru pendidikan jasmani mempunyai peran yang sangat penting d tingkatan. Begitu.... bukan malah asem dicampur gula ditambah garam... he....3.
ReplyDeleteJika seperti itu maka lebih ke penyelenggara kegiatan.
Delete